08 March 2019

Kuabadikan Namamu (Untuk yang Meyakini, Bahwa Cinta Tak Harus Memiliki)

“Serahkan perempuan itu, dan kau tidak usah turut campur urusan kami!”, ucap Pangeran Guru pada Ki Tinggil, yang sedang berdiri membelakangi Nyai Endang Darma. “Tolonglah aku Tuan, aku mohon jangan kau turuti kemauannya.”, Endang Darma memelas pada Ki Tinggil. Di bawah tebalnya mendung langit Pedukuhan Cimanuk kala itu, Ki Tinggil merasa bingung. Namun setelah berdoa sejenak, hati kecilnya berbicara, bahwa ia harus bersikukuh membela Nyai Endang Darma. “Cepat serahkan!”, Pangeran Guru memaksa.

“Tidak! Dia tamu kami. Aku tidak akan membiarkan dia dalam bahaya.”
“Berarti kau lebih memilih pertempuran.”
“Kalau itu memang harus, akan aku lakukan.”

Pertempuran tak dapat dihindarkan, meski di hujan lebat dan petir yang saling menyambar. Dan ternyata Ki Tinggil tidak terlalu kuat menahan serangan Pangeran Guru. Ia jatuh tersungkur dan tak mampu lagi berdiri. Hujan makin lebat. Saat Pangeran Guru hendak mengeluarkan jurus yang terakhir, seseorang datang menghalaunya. Seseorang itu adalah Raden Arya Wiralodra, laki-laki ksatria yang gagah berani lagi perkasa. Laki-laki dari negeri Bagelen, yang pertama kali mendirikan Pedukuhan Cimanuk.

“Siapa lagi kau? Tidak perlu ikut campur urusanku jika tidak ingin mati!”, Pangeran Guru mengancam. “Aku adalah Kuwu Pedukuhan ini, dan kau telah membuat onar di sini. Maka sekarang kau berurusan dengan aku!”, jawab Arya Wiralodra.

Meski hujan telah reda, tapi pertempuran lagi-lagi terjadi. Kali ini, Pangeran Guru yang benar-benar kewalahan menghadapi Arya Wiralodra. Ketika Pangeran Guru hampir tumbang, 24 pasukannya mengeroyok Arya Wiralodra secara bertubi-tubi. Hal itu membuat Arya Wiralodra kehilangan kendali, sehingga ia langsung mengeluarkan ajian pamungkas dengan senjatanya, Cakra Udaksana. Pangeran Guru beserta 24 pasukannya itu seketika luluh lantak. Arya Wiralodra dengan segera memerintahkan warga pedukuhan untuk menguburkan 25 mayat tersebut di lahan yang khusus, dan dinamai dengan Makam Selawe.

Nyai Endang Darma adalah wanita yang rupawan. Matanya jernih seperti embun di pagi hari. Wajahnya cerah bagaikan bulan purnama. Sosok wanita muda yang sempurna. Lekuk tubuhnya sangat indah. Lelaki manapun pasti tak sanggup menahan ketertarikan padanya. Begitu pula dengan Raden Arya Wiralodra, ia tak kuasa menahan gejolak asmara di hatinya, saat ia melihatnya pertama kali. Meskipun ia adalah pendekar pilih tanding, beribu-ribu lawan dapat ia kalahkan, namun tetap kalah dengan cinta. Karena laki-laki sejati adalah ia yang masih peduli terhadap perasaan, baik perasaan dirinya sendiri, terlebih perasaan orang lain. 

Setelah bertahun-tahun mengembara, menunaikan pesan ayahnya untuk menemukan Kali Cimanuk dan membangun pedukuhan, semuanya berhasil dilakukan tanpa hambatan yang berarti. Kemudian Tuhan membawanya pada fase hidup lainnya, keadaan yang mungkin sama rumitnya dengan menemukan suatu tempat dan membangun kerajaan. Fase tersebut merupakan proses bagi seorang raja menemukan permaisurinya. Fase yang pernah dijalani oleh Yusuf dengan Zulaikha, Sulaiman dengan Balqis, Muhammad dengan Khadijah, dan lainnya, meskipun mereka memiliki suratan cintanya masing-masing. Tentunya, Arya Wiralodra juga memiliki suratannya sendiri.

Bagi seorang Arya Wiralodra, pada dasarnya meminang perempuan adalah hal yang mudah. Tapi benar menurut Sujiwo Tejo, “Menikah adalah nasib, mencintai adalah takdir, kau bisa menikahi siapa, tapi tak bisa kau rencanakan cintamu itu untuk siapa”. Tuhan memiliki skenario sendiri, Ia mengirim Endang Darma dan membuat Wiralodra jatuh cinta, membikin beberapa kesulitan yang tidak ringan. Tuhan ingin agar Wiralodra menjalani proses dengan segala bentuknya. 

Meski di sore hari, matahari masih bersinar dengan gagahnya. Ditemani arus kali Cimanuk yang riuh rendah, Arya Wiralodra dan Endang Darma berdiri saling membelakangi.

“Sejak pertama aku melihat Nyai, jantungku berdebar cepat, seakan ada lonceng yang berbunyi dalam dada ini. Sejak saat itu juga, aku tidak lagi berani melihat nyai, apalagi mata nyai.”

“Raden adalah seorang ksatria linuwih, ribuan musuh dapat Raden hadapi dengan mudah sekali, mengapa menatap aku saja tidak berani? Apa karena Raden mencintaiku?

“Maukah Nyai menjadi permaisuri di daerah ini?”
“Apakah Raden bersedia bertanding kanuragan dengan aku?”
“Jika itu memang syaratnya, akan aku lakukan meski dengan berat hati.”

Entahlah, Endang Darma ingin menguji keberanian calon suaminya terlebih dulu, atau memang benar itulah darma hidupnya, harus dikalahkan oleh orang yang mencintainya dalam suatu perkelahian. Perang tanding tak bisa terelakkan. Menjalani darmanya sebagai pendekar, Wiralodra tidak pernah setengah-setengah dalam pertarungannya, dengan siapapun.

Meski Endang Darma juga adalah juga seorang pendekar yang linuwih, setelah berlama-lama adu ajian dengan sang Raden, tenaganya habis, ia tak mampu lagi melawan serangan Wiralodra. Endang Darma pun terkapar lemas, Wiralodra menghentikan serangan dan menghampirinya, ia mendekati wajahnya untuk berbicara dengan sang Nyai. Namun tiba-tiba Endang Darma juga mendekatkan wajahnya, dan ciuman pun terjadi. Mereka berdua dibawa terbang oleh asmara. Setelah hal tersebut berlalu dalam beberapa detik, mereka saling berhadapan.

“Aku juga mencintaimu, Raden. Tapi maafkan, aku harus pergi. Menikahlah dengan perempuan yang lebih baik, perbanyaklah keturunan. Meski kita saling mencintai, tapi cinta kadang tidak harus saling memiliki.”, ucap Endang Darma. Belum sempat Arya Wiralodra menjawab kalimat-kalimat Endang Darma, perempuan itu langsung bergegas terjun ke Kali Cimanuk. Arya Wiralodra tak sanggup mengejarnya. Hanya mampu berdiri dengan deraian air mata, menatapi arus sungai yang membawa pujaan hatinya.

Esok harinya, Arya Wiralodra mengumpulkan seluruh penduduk dan mengumumkan, bahwa pedukuhan Cimanuk berganti nama menjadi “Darma Ayu”. Ia mengabadikan cintanya pada Endang Darma, dengan mengabadikan namanya. []

*Cerpen ini pernah dimuat di Buletin Terobosan (Media Mahasiswa Kairo) edisi cetak, dan edisi online di terobosan.co

08 September 2016

Desa dan Kenyamanan

Apabila harus memilih untuk tinggal di desa atau di kota, aku akan memilih untuk tinggal di desa. Karena di sana aku lebih merasakan kenyamanan. Suasananya, masyarakatnya, kehidupannya, sangat membuat aku nyaman. 

Dari kecil hingga remaja, aku pun tinggal di desa. Namun pada beberapa tahun ini, aku harus tinggal di perkotaan, bahkan di luar negeri. Menjalani kehidupan yang begitu sibuk dan padat. Orang-orang yang keras, dan suasana yang angkuh.

Rasa rindu akan kehidupan desa dan kenyamanannya seringkali hinggap di hati. Maka sesekali mesti pulang ke desa, meskipun bukan desa sendiri. Dan saat ini, aku sedang dalam perjalanan menuju desa Rohawi, provinsi Giza - Mesir.


Stasiun Kairo, 8 September 2016

01 March 2016

Sore ke Malam di Kampung Halaman

Aku rindu bau debu yang disiram air hujan. Aku rindu kampung halaman. Rindu tanah liat yang kujadikan patung kecil dan mobil-mobilan. Waktu sore yang asyik untuk bermain. Kemudian ibu memanggil untuk mandi dan makan. Ayah mengajak ke masjid. Mengaji alquran sambil digigiti nyamuk-nyamuk.

Aku rindu malam yang hening bersama tetesan hujan. Lembab bergemericik pada genangan air yang terinjak sandal. Obrolan para pemuda yang membuatnya hidup. Lampu-lampu jalanan yang dikerumuni oleh laron-laron. Hujan pun jatuh di malam hari. Bersama kilat dan sambaran petirnya yang mendebarkan.